Minggu, 01 Maret 2009

Menutup aurat

BAB II
AURAT DAN PERMASALAHANNYA
 oleh muhammad irsyad

A. Pengertian Aurat
Aurat secara etimologi adalah malu, aib dan buruk. Ada 3 pendapat yang mengemukakan asal kata aurat: Pertama, kata aurat berasal dari kata ‘awira (عَوِرَ ) artinya hilang perasaan, kalau dipakai untuk mata, maka mata itu hilang cahayanya dan lenyap pandangannya. Kedua, kata aurat berasal dari kata ‘aara (عَارَ ) artinya menutup dan menimbun seperti menutup mata air dan menimbunnya. Ketiga, kata aurat berasal dari kata A’wara (أَعْوَرَ ) artinya sesuatu yang dilihat akan mencemarkan.
Adapun aurat secara terminologi ada beberapa pendapat sebagai berikut:
1. Menurut Syaikh Abdul Wahab Abdus Salam Thawilah, aurat adalah sebagian tubuh manusia yang wajib ditutupi dan diharamkan membuka, melihat atau menyentuhnya.

2. Menurut Abu Al-Ghafari, aurat adalah sesuatu yang haram ditampakan.
3. Menurut Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini ad-Dimasyqi, aurat adalah sesuatu yang wajib ditutup dalam shalat. (dalam arti sempit)
4. Menurut Zuhaili, aurat adalah sesuatu yang wajib ditutup dan haram dilihat.
Maka dari beberapa pendapat di atas pengertian aurat adalah bagian-bagian tubuh manusia yang ditutupi dan haram untuk diperlihatkan sesuai dengan ketentuan syari’at Islam.

B. Dasar Hukum Menutup Aurat
Dasar hukum ( landasan Yuridis) dalam menutup aurat adalah Al-Qur’an , As-Sunnah, Ijma’ dan Dalil Aqli (Rasio).
1. Al-Qur’an
a. Surat Al-‘Araf [7]: 26-27
 ( الاعراف: 26-27 )
“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat. Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman”. (Al A’raf 26-27)

b. Surat An Nur: 31
 ( النور: 31)
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (An-Nur 31)

Kedua ayat diatas menerangkan tentang menutup aurat. Ayat pertama (Al A’raf 26), menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa Allah mengaruniakan pakaian dan perhiasan kepada hambanya. Pakaian itu menutup aurat dan perhiasan (ar-risy) adalah apa saja yang mempercantik manusia secara nyata . Adapun ayat kedua (An-Nur 31) diterangkan secara tegas adanya kewajiban bagi seorang wanita menutup semua perhiasan. Tidak boleh sedikitpun perhiasan tadi ditampakan dihadapan orang-orang ajnabi yang bukan mahramnya kecuali yang biasa nampak tanpa mereka sengaja.

2. As-Sunnah
a. Hadits Riwayat Muslim
حَدَّثَنَاأَبُوْ بَكْرٍبْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ حَدَّ ثَنَازَيْدُبْنُ الحُبَابِ عَنِ الضَّحَاكِ بْنِ عُثْمَانِ قَالَ أَخْبِرْنِى زَيْدُبْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِيْ سَعِيْدِبْنِ الخُدْرِيِّ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَيَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرًّجُلِ وَلاَ المَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ المَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى الثَّوْبِ الوَاحِدِ لاَ تُفْضِى المَرْأَةُ إِلَى المَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الوَاحِدِ. وَحَدَّثَنَيْهِ مَرُوْنُ بْنُ عَبْدِ اللهِ وَمُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ قَالاَ مَكَانُ عَوْرَةِ عُرَيةُ الرَّجُلُ وَعُرْيَةُ المَرْأَةِ (رواه المسلم)

“Abu Bakar Bin Abi Syaibah mengkhabarkan terhadap kami, begitu juga dengan Zaid bin hubab dari dhahak bin usman, ia berkata Zaid bin Aslam memberitahukan kepadaku dari Abdur Rahman bin Abi Sa’id bin khudri dari Bapaknya, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:”Laki-laki tidak diperbolehkan memandang aurat laki-laki lain dan perempuan pun tidak diperbolehkan memandang aurat perempuan lain. Laki-laki tidak diperbolehkan bersatu dan bersentuhan dengan laki-laki lain dalam satu pakaian dan permpuan tidak boleh bersatu dan bersentuhan dengan perempuan lain dalam satu pakaian”. (HR. Muslim)

Hadits diatas menjelaskan bahwa seorang laki-laki maupun perempuan tidak boleh melihat aurat satu sama lainnya. Dari satu segi, Rasul melarang melihat aurat dan dari segi lain, dapat dipahami bahwa seseorang harus menjaga dan menutup auratnya dihadapan laki-laki dan perempuan lainnya.

b. Hadits Riwayat Abu Daud
حَدَّ ثَنَايَعْقُوْبَ يْنُ كَعَبِ الْأَنْطَاكِى وَمُؤَمِّلَ بْنَ الفَضْلِ الحَرَانِى قَالاَ:ثَنَّا الوَلِيْدُ عَنْ سَعِيْدِبْنِ بَشِيْرٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ خَالِدٍ قَالَ يَعْقُوْبُ: ابْنُ دَرِيْكٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَاأَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَابَلَغَتِ الْمَحِيْضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَاإِلاَّ هَذَاوَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ (رواه ابواداود)
“Dari Aisyah R.A Bahwa Asma’ binti Abi Bakar Masuk kerumah rasulullah dengan mengenakan pakaian yang tipis, maka rasulullah SAW berkata, “wahai Asma’ sesungguhnya wanita yang telah haid (baligh) tidak diperbolehkan untuk dilihat dari padanya kecuali ini dengan mengisyaratkan wajah dan telapak tangan”.(HR.Abu Daud)

Hadits diatas menerangakan bahwa Rasul menegur asma’ binti abu bakar yang mengenakan pakaian tipis, selanjutnya beliau menjelaskan bahw wanita yang sudah haidh (dewasa) tidak boleh melihatnya kecualki ini dan ini, dengan mengisyaratkan kepada wajah dan telapak tangan. Dari hadits ini dapat dipahami aurat wanita secara umum adalah seluruh tubuh kecuali telapak tangan.
3. Ijma’ Ulama
Para ulama sepakat bahwa mnenutup aurat difardukan secara mutlak. Dalam arti, tidak ada satupun ulama yang membantah bahwa menutup aurat itu diwajibkan. Para ulama hanya berselisih paham tentang batasan-batasan aurat yang wajib ditutupi.

4. Dalil Aqli ( Rasio )
Secara rasional, pakaian sangat dibutuhkan manusia, kebutuhan akan pakaian atau menutup aurat berfungsi untuk menutupi tubuhnya secata fitrah, melindungi manusia dari berbagai gangguan dan perubahan cuaca, selain itu juga untuk memperindah penampilan, maka secara akal sehat, menutup aurat merupakan kebutuhan setiap manusia dalam kehidupannya.

C. Pendapat Ulama Tentang Aurat dan Batas-batasnya.
Para ulama fiqh sepakat menutup aurat berdasarkan nash al-Qur’an dan hadits. Dalam menafsirkan nash Al-Qur’an dan hadits tersebut mereka berbeda pendapat tentang batas-batas aurat, yang meliputi: aurat laki-laki terhadap laki-laki, aurat perempuan terhadap perempuan, aurat laki-laki terhadap perempuan dan aurat perempuan terhadap laki-laki.
1. Aurat laki-laki terhadap laki-laki
Para ulama sepakat aurat laki-laki yang wajib ditutupi adalah kemaluan dan anus. Sementara bagian anggota tubuh lainnya, seperti paha, pusar dan lutut, maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama, disebabkan pertentangan hadits-hadits dalam masalah ini. Sebagian hadits menjelaskan bahwa paha itu aurat dan hadits yang lain menerangkan secara tidak langsung (hadits Fi’li) bahwa paha tersebut bukan termask aurat laki-laki. Hadits tersebut akan dibahas sesuai dengan ulama yang mengambil hujjah terhadapnya. Maka ada yang mengatakan bahwa itu tidak termasuk aurat. Adapula yang mengatakan itu aurat.
Beberapa ulama diantaranya Imam Malik, sebagian ulama mazhab Maliki, Ahmad dalam sebuah riwayat, Ibnu Dzu’aib dari kalangan Hambaliyah, Abu Said as-Ashthukhri dari kalangan Syafi’iyah dan Muhammad bin Jarir dari kalangan Zhahiriyah, berpendapat bahwa aurat laki-laki hanya sau’atani (qubul dan dubur) saja. Mereka berargumen dengan dalil-dalil sebagai berikut :
a. Firman Allah SWT Surat Al-‘Araf 20-22,
 ) الا عراف : 20-22 )
“Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk Menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka Yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi Malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)". Dan Dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya adalah Termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua", Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua ” )Al-A’raf 20-22(

b. Firman Allah SWT Surat Al-A’raf 26-27
) الا عراف : 26-27 )

“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat. Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman”.(QS.Al-A’raf 26-27)

Dalam ayat-ayat diatas digunakan kata sau’ah (سَوْاءة ) yang mempunyai arti kemaluan dan anus. Maka ini menjelaskan bahwa aurat laki-laki tersebut kemaluan dan anus.
Selain itu pendapat golongan ini mengambil dasar pendapatnya dengan beberapa hadits diantaranya:
a. Dari Aisyah RA.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ جَالِسًا كَاشِفًاعَنْ فَخِذِهِ, فَاسْتَأَذَنَ أَبُوْ بَكْرٍ فَأَذِنَ لَهُ وَهُُوَ عَلَى حَالِهِ, ثُمَّ اسْتَأَذَنَ عُمَرُ فَأَذِنَ لَهٌ وَهُُوَ عَلَى حَالِهِ ثُمَّ اسْتَأْذَنَ فَأَرْخَى عَلَيْهِ ثِيَابِهِ فَلَمَّاقَامُوْا قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ اسْتَأْذَنَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ فَأَذِنْتَ لَهُمَا وَأَنْتَ عَلَى حَالِكَ. فَلَمَّا اسْتَأْذَنَ عُثْمَانُ اَرْخَيْكَ عَلَيْكَ ثِيَابَكَ؟ فَقَالَ: يَاعَائِشَةَ أَلاَ أَسْتَحِيْ مِنْ رَجُلٍ وَ اللهِ إِنَّ المَلاَ ئِكَةَ لَتَسْتَحْيِيْ مِنْهُ. (رواه احمد وذكر البخاري تعليقا)

Dari Aisyah R.A bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW sedang duduk dalam keadaan pahanya terbuka. Abu Bakar meminta izin masuk untuk menjumpainya dan Nabi SAW mempersilakannya, sedangkan beliau tetap dalam keadaan seperti itu. Kemudian Umar meminta izin masuk untuk menjumpainya dan Nabi SAW mempersiahkannya, sedangkan Beliau tetap dalam keadaan seperti itu. Lalu datanglah Utsman meinta izin masuk, maka Nabipun menguraikan kainnya dan menutup bagian pahanya yang terbuka. Setelah mareka pergi meninggalkan rumah Nabi SAW, aku bertanya kepada beliau, Ya Rasulullah ketika Abu Bakar dan Umar meminta masuk engkau mempersilakan masuk, sementara pakaian tetap seperti semula. Akan tetapi, ketika Utsman meminta masuk, mengapa engkau menguraikan pakaian dan menutup pahamu yang terbuka itu?”Nabi SAW menjawab,” Hai Aisyah! Tidakkah saya merasa malu kepada Ustman! Demi Allah, para malaikat sungguh merasa malu kepadanya”. (HR. Ahmad dan Bukhari menyebutkannya sebagai hadits Mu’allaq)


b. Dari Anas RA,
عَنْ أَنِسٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ اخَيْبَرَ خَسَرَ الْإِزَارَ عَنْ فَخْذِهِ حَتَّى إِنِّ لَأَنْظُرُ إِلَى الْبَيَاضِى فَخِذِهِ (رواه أحمد و البخاري)

“Dari Anas : Pada waktu perang khaibar Nabi SAW menyingsingkan pakaiannya dari pahanya yang putih itu”.(HR. Ahmad dan Bukhari).


c. Dari Abul Aliyah Al-Bara’ RA,
عَنْ أَبِى العَالِيَةَ البَرَّاءَ قَالَ: إِنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ الصَّامِتِّ ضَرَبَ فَخِذِيْ وَقَالَ إِنِّى سَأَلْتُ أَبَاذَرٍّ فَضَرَبَ فَخَِذِي كَمَاضَرَبْتُ فَخِذِكَ وَقَالَ إِنِّى سَأَلْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَاسَأَلْتَنِيْ فَضَرَبَ فَخِذِيْ كَمَاضَرَبْتُ فَخِذِكَ وَقَالَ: صَلِّ الصَّلاَةَ لِوَقْتِهَاإِلَى أََخِرِ الحَدِيْثِ (رواه مسلم)

“dari Abu Aliyah Al-Bara’ RA berkata: sesungguhnya Abdullah bin Shamit telah memukul pahaku dengan telapak tangannya seraya berkata, aku pernah bertanya kepada Abu Dzar, lalu ia memukul pahaku, sebagaimana aku memukul pahamu sekarang ini, sambil berkata,aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW. Sebagaimana engkau bertanya kepadaku, maka beliau memukul pahaku sebagaimana aku memukul pahamu, seraya bersabda lakukanlah shalat tepat pada waktunya…”(HR. Muslim)

Hadits-hadits diatas merupakan dasar bagi ulama yang menetapkan bahwa paha itu bukan aurat. Dimana dalam hadits tersebut Nabi membiarkan pahanya terbuka padahal ada para shahabat disisinya.
Demikianlah dalil-dalil yang menunjukkan paha itu bukanlah aurat bagi laki-laki. Menurut Ibnu Hazm keterangan yang menyebabkan paha sebagai aurat, hanya untuk menekankan anjuran untuk menutupnya .
Adapun menurut jumhur ulama seperti Malik atas dasar riwayat, mayoritas Malikiyah dan Syafi’iyah berdasarkan standar keshahihan mereka serta mazhab Hambaliyah dan Auza’i, berpendapat bahwa aurat laki-laki adalah antara pusar dan kedua lutut termasuk kulit dan rambut. Dengan demikian haram membuka, memandang dan menyentuh bagian tersebut. Adapun pusar dan kedua lutut sendiri bukan aurat, hanya diwajibkan menutupi sedikit bagian atas lutut dan bagian bawah pusar sebagai bentuk kehati-hatian, sebab kewajiban yang tidak sempurna tanpa sesuatu maka sesuatu tersebut hukumnya wajib . Mereka berargumen dengan dalil berikut:
a. Dari Abi Jarhad,
حَدَّ ثَنَاعَبْدُ اللهِ بْنِ مُسَلَّمَةِ عَنْ مَلِكِ عَنْ أَبِيْ النَّضَرِ عَنْ زَرْعَةِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جَرْهَدٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: كَانَ جَرْهَدٌ هَذَامِنْ أَصْحَابِ الصُّفَةِ قَالَ: جَلَسَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, عِنْدَنَاوَفَخِذِيْ مُنْكَشِفَةٌ فَقَالَ أَمَّاعَلِمْتَ أَنَّ الفَخِذَ عَوْرَةٌ (رواه ابواداود, والترميذى, واحمدوالدرمى, والخلال)
“Dari Abdullah bin Musalamah dari Malik dari Abi Nadhar dari Zar’ah bin abdur rahman bin Jarhad dari Bapaknya, berkata: Jarhad itu termasuk shahabat suffah, ia berkata; Rasulullah SAW duduk bersama kami, dan pahaku terbuka. Maka beliau bersabda: apakah engkau tidak tahu bahwa paha itu aurat”. (HR.abu Al-tirmidzi,Ahmad, ad-darami, dan al-khallal)

b. Dari Jarhad RA,
عَنْ جَرْهَدٍ قَالَ: مَرَّ رَسًوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيَّ بُرْدَةٌ وَقَدِانْكَشَفَتْ فَخِذِيْ فَقَالَ: غَطِّ فَخِذَيْكَ فَإِنَّ الفَخِذَ عَوْرَةٌ ( رواه أحمد ومالك وأبواداود والتر ميذي, وقال حسن, وذكره البخاري فى صحيحه معلقا)
Dari Jarhad, Ia berkata:”Rasulullah SAW lewat, sedangkan aku ketika itu memakai pakaian yang terbuka bagian pahaku, beliau bersabda, tutupilah pahamu itu karena ia termasuk aurat” (HR. Malik. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi yang menyatakan hasan, sementara Bukhari menyatakan Hasan, sementara Bukhari menyatakan dalam shahihnya sebagai hadits mu’allaq).

c. Dari Muhammad Bin Jahsy,
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَحْشٍ قَالَ مَرَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَعْمَرٍ وَفَخِذَاهُ مَكْشُوْفَتَانِ فَقَالَ: يَامَعْمَرُ غَطِّ فَخِذَيْكَ فَإِنَّ فَخِذَيْنِ عَوْرَةٌ (رواه الحاكم والبخاري فى تاريخه وعلقه فى صحيحيه)
“Muhamad bin jahsy berkata: Rasulullah SAW pernah melewati Ma’mar yang kedua pahanya terbuka, maka beliau bersabda”hai Ma’amar tutuplah kedua pahamu itu karena paha itu termasuk aurat”. (HR. Hakim,Ahmad dan Bukhari dalam buku Tarikhnya, sedangkan Dalam shahihnya dinyatakan mu’allaq)

d. Dari Ali R.A,
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنِ سَهْلِ الرَّمْلِيْ, ثَنَّاحُجَّاجُ عَن ِبْنِ جَرِيْحِ قَالَ أَخْبَرْتُ عَنْ عَلِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَكْشِفْ فَخِذَكَ وَلاَ تَنْظُرْ إِلَى فَخِذِ حَيِّ وَلاَ مَيَّتٍ (رواه ابواداود)
Dari Ali bin Sahal Ramli dari Hujjaj dari Ibnu Jarij ia berkata aku mengkhabarkan dari Ali RA, Ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Jangan enkau buka pahamu dan janganlah engkau lihat paha orang hidup dan juga orang-orang yang mati (HR. Abu Daud).

Hadits-hadits diatas menegaskan paha termasuk aurat. Maka aurat laki-laki tersebut antara pusar dan lutut, sedangkan lutut tidak termasuk aurat.
Menurut kalangan Jumhur, dua ayat diatas (Al-A’raf ayat 20-22 & ayat 26-27) tidak menyinggung pembatasan aurat, kedua ayat ini hanya menyebutkan aurat sebagai sau’ah tanpa pembatasan. Hadits-hadits yang dikemukakan oleh kelompok pertama juga tidak secara jelas menegaskan tentang pembatasan aurat. Riwayatnya tersebut merupakan cerita tentang suatu kejadian. Padahal menurut Ilmu Ushul Al-Hadits, perkataan itu lebih diprioritaskan dari perbuatan. Maka dengan dalil-dalil yang diungkapkan diatas jelaslah aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut.
Maka aurat laki –laki dihadapan laki-laki lainnya adalah antara lutut dan pusar. Dalam artian seorang laki-laki terhadap laki-laki lain harus memakai pakaian antara pusar dan lutut.
2. Aurat Perempuan terhadap perempuan
Aurat perempuan terhadap perempuan lain terbagi dua macam, aurat perempuan terhadap perempuan muslimah dan aurat perempuan muslimah terhadap perempuan kafir.
Aurat perempuan muslimah dihadapan perempuan muslimah lainnya adalah anggota tubuh antara pusar dan lutut. Menurut ulama Hanafiyah auratnya hingga bagian tubuh dibawah lutut. Jadi muslimah dibolehkan memandang seluruh tubuh muslimah lain selain aurat, selama aman dari fitnah dan syahwat.
Abu Hanifah menuturkan riwayat yang lain bahwa pandangan muslimah kepada perempuan lain seperti pandangan laki-laki kepada muhrimnya. Dia tidak boleh memandang perut dan punggung karena bagian ini sering mengundang syahwat. Dia hanya boleh memandang kepala, wajah, dada, lengan dan betis.
Perbedaan Pendapat ulama diatas mengenai aurat perempuan dihadapan muslimah lainnya disebabkan perbedaan penafsiran terhadap surat An-Nur ayat 31. Surat ini menjelaskan bahwa seorang perempuan tidak boleh menampakkan perhiasannya kecuali (salah satunya) terhadap perempuan-perempuan mereka. Para ulama sepakat bahwa kata أَوْنِسَائِهِنَّ dalam ayat An-Nur 31 tersebut termasuk muslimah, Namun mereka berbeda pendapat tentang perhiasan yang boleh dinampakan.
Sebagian ulama menafsirkan perhiasan tersebut dengan perhiasan penciptaan (khilqah), hal ini berdasarkan firman Allah surat An-Nur ayat 31 yang artinya “dan hendaklah mereka menutup kain kerudung mereka sampai ke dada”. Dalam ayat ini Allah memerintahkan mengulurkan kerudung sehingga menutupi wajah dan dada, mengisyaratkan bahwa sesungguhnya wajah dan dada termasuk perhiasan penciptaan yang tidak boleh dinampakan kecuali dihadapan mahram . Sementara sebagian ulama lainnya menafsirkan perhiasan dengan perhiasan yang mempercantik diri seperti anting dan gelang. Tentunya yang dimaksud adalah anggota tubuh perempuan yang dipakaikan perhiasan yang tidak boleh dilihat . Maka maksud ayat adalah janganlah perempuan memperlihatkan telinga, kaki dan lehernya kecuali (salah satunya) kepada perempuan-perempuan mereka.
Sejauh ini , penulis tidak menemukan hadits tentang batasan aurat perempuan dihadapan perempuan lainnya yang menjadi dasar ulama untuk menetapkan tentang batasan aurat perempuan dihadapan perempuan lainnya. Mayoritas ulama hanya menetapkan berdasarkan penafsiran ayat An-Nur diatas.
Berdasarkan pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa perhiasan yang dimaksud adalah perhiasan untuk mempercantik diri (muktasabah). Seandaiinya yang dimaksud perhiasan itu adalah perhiasan penciptaan, maka ini bertentangan hadits yang menyatakan bahwa Nabi SAW memerintahkan kepada Asma’ agar menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. maka aurat perempuan muslimah dihadapan muslimah lainnya adalah anggota tubuh yang dipakai perhiasan. Maksudnya dibolehkan perempuan menampakan telinga ,leher dan kakinya kepada muslimah lainnya.
Adapun aurat perempuan muslimah dihadapan perempuan kafir adalah suatu pendapat mengatakan aurat mereka, antara pusar dan lutut sedangkan pendapat lain mengatakan aurat mereka seluruh tubuh selain yang biasa terbuka.
Ulama Hanafiah, Syafi’iyah menurut pendapat yang dijadikan pedoman oleh mereka, sebagian ulama Malikiyah, Ahmad dalam riwayatnya dan Makhul berpendapat bahwa aurat perempuan muslimah dihadapan non muslim adalah seluruh tubuhnya selain bagian yang tampak ketika bekerja. Mereka berargumen dengan dalil-dalil sebagai berikut:
                         
Dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam,….( Q.S.an-Nur 24:31)

                     
“Tidak ada dosa atas isteri-isteri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki,…. (QS. Al-Ahzab 33:55)

Kalimat perempuan-perempuan mereka (أوانسائهن ) pada ayat diatas yang dimaksud adalah khusus perempuan muslimah dengan dalil, Allah SWT berfirman,”Atau kaum perempuan mereka” dan tidak mengatakan,”atau kaum perempuan”. Seandainya mereka boleh memandang perempuan non muslim, tentu pengkhususan ini tidak ada artinya.
Menurut Qurthubi yang dimaksud “perempuan-perempuan mereka” dalam ayat diatas adalah muslimah. Hal ini didasarkan bahwa Umar pernah mengirim surat kepada Abu Ubaidah yang isinya: aku mendapat informasi bahwa perempuan ahli Dzimmah biasa masuk ke kamar mandi umum bersama perempuan muslimah. Cegahlah hal itu dan buatlah sekat sebab perempuan ahli dzimmah tidak boleh melihat perempuan muslimah tanpa busana. Inilah pendapat mayoritas ulama salaf diantaranya Ibnu Abbas, Mujahid dan Ibnu Auraj .
Adapun sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa aurat perempuan muslimah dihadapan perempuan kafir adalah selain wajah dan telapak tangan. Karena itu perempuan muslimah haram membuka tubuhnya dihadapan perempuan kafir.
Sementara Ulama Hambaliyah dalam pendapat yang rajih menurut mereka, sebagian Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa aurat perempuan muslimah dihadapan perempuan non muslim adalah pusar dan lutut. Mereka berpijak pada dalil-dalil sebagai berikut:
1. Hadits dari Asma’
حَدَّثَنَا الحُمَيْدِىُّ حَدَّ ثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا هِِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ أَخْبَرَنِى أَبِى أَخْبَرَتْنِى أَسْمَآءُ ابْنَةٌ أَبِى بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَتْ أَتَتْنِى أُمِّى رَاغِبَةً فِى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْتُ النَّبِيِّ ص م آصِلُهَا؟ قَالَ نَعَمْ ( رواه البخارى)
ِHumaid dari Sofyan dari Hisyam bin ‘urwah dari Bapakku dari Asma’ binti abu baker ia berkata,”Ibuku menemuiku dia membenci Islam akhirnya aku bertanya kepada Rasulullah SAW apakah aku boleh menerimanya, beliau menjawab boleh ( HR. Bukhari )

Kisah ini menunjukkan bahwa perempuan kafir Yahudi dan lainnya biasa menemui para istri Nabi dan muslimah lainnya, namun Nabi SAW tidak pernah menyuruh mereka untuk berhijab .Dalam artian, Nabi tidak menyuruh Asma’ untuk memakai cadar atau jilbab untuk menemui ibunya yang musyrik tersebut.
2. Kata”perempuan” dalam ayat, maksudnya adalah seluruh kaum perempuan, sedangkan pendapat ulama salaf tadi hanya anjuran.
Ibnu Al-Arabi berkata,” pendapat yang shahih adalah perempuan muslimah boleh memandang dan memperlihatkan perhiasannya kepada seluruh perempuan. Penyebutan kata ganti dalam penggalan ayat diatas hanya untuk mengikutkan ayat sebelumnya. Mengingat, ayat ini(QS. Al-Ahzab 33:55 dan Q.S.an-Nur 24:31) , memuat banyak kata ganti yang sangat langka ditemui dalam Al-Qur’an. Bayangkan dalam ayat ini terdapat 25 kata ganti.

Berdasarkan pendapat beberapa mazhab diatas, perbedaan pendapat tentang aurat perempuan muslimah dihadapan perempuan kafir penyebab monumental adalah penafsiran kata نسائهن (perempuan mereka) dalam surat An-Nur 31. Sebagian pendapat menafsirkan tertentu dengan kaum muslimah dan pendapat lainnya menafsirkan seluruh perempuan. Kata” perempuan mereka” adalah idhafah dalam kata kaidah bahasa arab. Ini menunjukkan perempuan yang dimaksud adalah perempuan yang dekat dengan perempuan muslimah, dalam arti dikenal akhlak mereka. Oleh sebab itu, kata perempuan mereka lebih dekat dengan makna kaum muslimah. Seyogyanya perempuan muslimah menutup seluruh tubuhnya kecuali dua telapak tangan dan wajah dihadapan kaum perempuan non muslimah untuk berhati-hati agar tidak timbul fitnah, sebagaimana Umar Bin Khattab memerintahkan Abu Ubaidah untuk melarang perempuan Ahli Zimmah satu pemandian dengan perempuan muslimah.

3. Aurat laki-laki terhadap perempuan
Secara umum aurat laki-laki terhadap perempuan adalah antara pusar dan lutut, namun secara khusus aurat laki dalam pandangan perempuan dapat dibedakan menjadi 3 macam:
a. Aurat laki-laki terhadap perempuan muhrim
b. Aurat laki-laki terhadap perempuan bukan muhrim
c. Aurat laki-laki terhadap istrinya.

Aurat laki-laki terhadap perempuan muhrim adalah antara pusar dan lutut. Dalam artian perempuan boleh memandang seluruh tubuh laki-laki selain auratnya. Dia juga boleh berjabatan tangan dan menyentuh muhrim asalkan tanpa dibarengi syahwat. Hal ini didasarkan dengan hadits-hadits yang telah diungkapkan sebelumnya pada masalah aurat laki-laki dihadapan laki-laki .
Adapun aurat laki-laki dihadapan perempuan bukan muhrim adalah pusar dan lutut. Sebagaimana penjelasan terdahulu. Selain itu perempuan juga haram memandang bagian tubuh muhrim selain aurat disertai syahwat dan kenikmatan. Namun para ulama berbeda pendapat tentang bagian tubuh yang boleh dipandang meski tanpa disertai syahwat.
Menurut Imam Syafi’I dalam pendapatnya yang dishahihkan An Nawawi dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya yang dipilih oleh Abu Bakar berpendapat hukumnya haram perempuan bukan muhrim memandang lelaki bukan muhrim. Mereka berargumen dengan dalil berikut:
وَقُلْ لِلْمُؤْ مِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَرِ هِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ ... (31)

“Katakanlah kepada perempuan yang beriman,”hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya….…” (QS. An-Nur [24]:31)

Dalam ayat diatas Allah memerintahkan perempuan untuk menahan pandangan mereka sebagaimana diperintahkan kepada laki-laki selain itu, hadits Rasul juga menegaskan hijab dan menjaga pandangan bagi perempuan. Sebagaimana hadits berikut :
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهَا كَانَتْ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَيْمُوْنَةَ قَالَتْ فَبَيْنَا نَحْنُ عِنْدَهُ أَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمُ فَدَخَلَ عَلَيْهِ وَذَلِكَ بَعْدَ مَاأُمِرْنَابِالْحِجَابِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ احْتَجِبَا مِنْهُ فَقُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ أَلَيْسَ هُوَ أَعْمَى لاَيُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَاتُبْصِرَانِهِ(رواه الترميذى وابوداود وأحمد وابن هبان والبيهقى والنسائ والطبرانى)
“Dari Ummu Salamah, sesungguhnya ia bersama Maimunah berada disamping Rasululah SAW. Ia (Ummu Salamah) berkata:” ketika kami berada di samping Beliau, datang Ibnu Ummi Maktum, lalu masuk ke tempat beliau. Kejadian itu setelah kami diperintahkan untuk berhijab . Rasulullah SAW. Bersabda: berhijablah kalian berdua darinya. Aku menjawab: wahai Rasulullah, bukankah dia itu buta, tidak bisa melihat kami dan idak bisa mengenali kami? Rasulullah SAW bersabda: “apakah kalian berdua juga buta? Tidakkah lkalian berdua bisa melihat dia?”(HR Tirmizi, Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Hibbah, Baihaqi, Nasa’i dan Thabarani).

Dalam hadits menjelaskan bahwa perempuan muslimah harus memalingkan pandangannya ketika melihat laki-laki bukan mahramnya walaupun laki-laki tersebut buta, tidak bisa melihat dirinya. Bahkan ketika kedatangan Ibnu Ummu Maktum yang buta, Rasullah SAW menyuruh Ummu Salamah dan Maimunah, istri-istri beliau, agar berhijab agar Ibnu Ummu Maktum tidak mereka lihat.
Adapun menurut Malikiyah perempuan tidak boleh memandang lelaki bukan muhrim selain kepala dan anggota tubuh bagian ujung (athraf). Jadi dia boleh memandang wajah, leher, tangan dan kaki lelaki bukan muhrim, kecuali jika dia khawatir merasa nikmat.
Sementara menurut Hanafiyah, Imam Syafi’i dalam satu pendapatnya yang dishahihkan oleh ar-Rafi’i dan kalangan Hambali berpendapat perempuan boleh memandang lelaki bukan muhrim pada bagian tubuh bukan aurat, selama tidak mengkhawatirkan timbulnya fitnah dan tidak dengan syahwat, mereka berargumen sebagai berikut
A. Hadits dari Aisyah,
عَنْ عَاَئِشَةَ قَالَت إِنَّ الحَبْشَةَ كَانُوْا يَلْعَبُوْنَ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ ص م فِى يَوْمِ عِيْدٍ فَاطَّلَعْتُ مِنْ فَوْقِ عَاتِقِهِ فَطَأْ طَأَ لِيْ مَنْكِبَيْهِ فَجَعَلْتُ لأُنْظُرُ إِليْهِمْ مِنْ فَوْقِ عَاتِقِهِ حَتَّى شَبَعْتُ ثُمَّ انْصَرَفْتُ (رواه أحمد و الشيخان)
“ Dari Aisyah RA, Ia berkata ; kaum Habasyah sedang bermain tombak disisi Rasulullah SAW pada hari raya. Aku menonton pertunjukan itu dari atas pundak Nabi SAW. Beliau membungkukkan bahunya hingga aku bisa melihat mereka dari atas pundaknya. Aku puas, lalu akupun pergi”. ( HR. Ahmad dan Syaikhan).
Al-Hafizh menyatakan dalam sebagian jalur periwayatan hadits ini disebutkan bahwa pertunjukkan itu berlangsung setelah kedatangan utusan dari Habasyah pada tahun 7 Hijriah, saat itu Aisyah berusia 16 tahun.
B. Hadits dari Ibnu Abbas,
سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ: حَدَّ ثَنَاشُعْبَةُ عَنْ عَدِيَّ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ سَعِيْدٍ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ ص م صَلَّى يَوْمَ الفِطْرِرَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلاَ لٌ فَأَمَرَ هُنَّ بِالصَّدَقَةِ فَجَعَلْنَ يُلْقِيْنَ تُلْقِى المَرْأَةُ خُرْصَهَا وَسِخَابَهَا (رواه البخاري)

“Sulaiman bin Harb berkata, dari Syu’bah dari ‘Adi bin Tsabit dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata, sesungguhnya Nabi SAW pada hari raya idul fitri shalat dua rakaat yang tidak shalat sebelum dan sesudahnya. Kemudian beliau bersama Bilal menghampiri kaum perempuan. Beliau menyuruh mereka untuk bersedekah, maka mereka pun melepaskan cincin emas dan cincin biasa mereka”. (HR. Bukhari).


Hadits-hadits di atas secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa perempuan non muhrim boleh memandang laki-laki. Semua ulama sepakat bahwa perempuan tidak boleh memandang aurat lelaki muhrim dan sepakat juga perempuan tersebut tidak boleh memandang laki-laki jika terdapat rasa nikmat dan syahwat walaupun itu bukan auratnya.
Adapun aurat laki-laki dihadapan istrinya adalah istri boleh melihat apapun yang ia sukai. Ini tegaskan oleh al-Qur’an, sebagaimana yang terdapat dalam surat al- Mu’minun ayat 5-6 sebagai berikut :
 
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka milik. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.( QS. Al-Mukminun 5-6)

Nabi SAW juga menerangkan kepada shahabat untuk menjaga auratnya kecuali kepada istri atau hamba sahayanya, sebagaiaman hadits dibawah ini :
عَنِ ابْنِ الحَاكِمِ قَالَ قُلْتُ يَارَسُوْلُ اللهِ: عَوْرَتُنَا مَانَأْتِى مِنْهَا وَمَانَذَرٌ؟ قَالَ: إِحْفَظْ عَوْ رَتِكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْمَامَلَكَتْ يَمِيْنُكَ .... (رواه الخمسة إلا النسائ)

“ Dari Ibnu Hakim berkata, aku bertanya, ya Rasulullah : manakah aurat-aurat kami yang boleh kami perlihatkan danmana yang tidak ? maka Nabi menjawab : peliaharalah auratmu, kecuali terhadap istrimu dan hamba sahayam…( HR. Khamsah kecuali Imam Nasa’I )




4. Aurat perempuan terhadap laki-laki
Aurat perempuan terhadap laki-laki dapat dibedakan jadi 3 macam yakni aurat perempuan terhadap laki-laki lain, aurat perempuan terhadap muhrim dan aurat perempuan terhadap suaminya.
Aurat perempuan terhadap laki-laki lain adalah sebagian pendapat mengatakan aurat mereka adalah seluruh tubuh, sedangkan pendapat lain mengatakan aurat mereka adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan
Menurut Syafi’iyah dan Hambaliyah aurat perempuan itu adalah seluruh tubuh perempuan tanpa kecuali. Jadi tidak boleh membuka wajah dan telapak tangan, kecuali dalam keadaan darurat, demikian halnya bagian tubuh yang lain. Lelaki bukan mahram tidak boleh memandang wajah dan telapak tangan tanpa keperluan meski aman dari fitnah dan syahwat. Golongan ini mengemukakan dalil-dalil sebagai berikut:
Firman Allah surat An-Nur ayat 31
 ( النور: 31)
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” QS.An-Nur:31)

Menurut mereka ayat ini menunjukkan kewajiban berhijab dan menutup wajah dari tiga persepsi.
1. Perintah menjaga kemaluan. Perintah ini juga berarti perintah untuk menjaga sarana yang bisa mewujudkannya. Diantara sarana tersebut adalah menutup wajah, karena membuka wajah menyebabkan pria memandang wanita dan mengundang imajinasi untuk membayangkan dan menikmati kecantikannya.
2. Perintah menurunkan kerudung diatas jaib (kerah). Hal ini mengindikasikan perintah menutup wajah dari segi kewajiban dan Qiyas. Dari segi kewajiban, kerudung adalah penutup kepala, sedangkan jaib adalah belahan pada pakaian tempat keluar-masuknya kepala. Maksud menutup kerudung pada wajah adalah mengeraikannya serta memastikan wajah benar-benar tertutup. Adapun dari segi Qiyas, jika menutup leher dan dada hukumnya wajib, tentu kewajiban menutup wajah lebih utama karena alasan hukum dan akar masalahnya terletak pada kekhawatiran akan fitrah, tidak bisa dipungkiri bahwa wajah merupakan pusat kecantikan sekaligus tempat fitnah sehingga wajib ditutup.
3. Allah melarang menampakkan perhiasan kecuali bagian-bagian yang pasti terlihat seperti bagian luar pakaian dan hijab atau anggota yang berada diluar kontrol lalu terlihat karena darurat.
Hal ini juga diperkuat oleh firman Allah yang memerintahkan kaum mukminin yang mempunyai keperluan kepada para istri Nabi, untuk memintanya dari balik tabir. Allah SWT berfirman:
             
“apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka”. ( QS Al-Ahzab: 53)

Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan ummahatul mukminin (istri-istri Rasulullah) agar berbusana secara sempurna, tanpa mengecualikan anggota badan tertentu, termasuk wajah dan kedua telapak tangan. Selain itu hal ini juga diperkuat dengan firman Allah surat Al-Ahzab :59,

“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS Al-Ahzab: 59)

Diriwayatkan dari beberapa mufasir (ahli tafsir) salaf mengenai penafsiran”mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka” bahwa meraka menutupkan jilbab mereka keseluruh wajah mereka dan tidak ada yang tampak sedikitpun kecuali sebelah matanya untuk melihat.
Keterangan ayat-ayat diatas juga didukung oleh hadits-hadits sebagai berikut:
- Hadits Jarir bin Abdillah
عَنْ حَرِيْر بْنِ عَبْدِ اللهِ البُجْلِى قَالَ: سَأَلْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الفَجْأَةِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَصْرِفَ بَصْرِيْ (رواه مسلم واحمد والترميذ)
“dari Jarir RA berkata:” aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang memandang secara tidak sengaja beliau menyuruhku untuk memalingkan pandanaganku (HR. Muslim, Ahmad dan Turmizi)

- Hadits Ali bin Abi Thalib RA:
عَنْ إِبْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ الرَّسُوْلُ اللهِ ص م لِعلِيَّ: يَاعَلِيُّ لاَ تُتْبِعِ النَّظَرَةَ النَّظَرَةَ فإِنَّمَالَكَ الاُوْلَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْأَخِرَةُ (أحمد ابوادودو الترمذى)
“Dari Ibnu Buraidah dari bapaknya, Rasulullah SAW telah bersabda, Hai Ali! Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya. Kamu hanya boleh pada pandangan pertama. Adapun yang berikutnya bukan untukmu (HR. Ahmad, Abu Daud dan Turmuzi).

- Hadits Ibnu Masud meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ المَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَاخَرَجَتْ اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ (رواه الترمذى)

“dari Abdullah dari nasbi SAW bersabda, Wanita itu aurat, apabila ia keluar maka ia didekati oleh setan” (HR Turmizi)
Hadits dari Jarir Abdillah dan Ali Bin Abu Thalib diatas menjelaskan bahwa Rasul menyuruh untuk memalingkan pandangan terhadap wanita. Seandainya kaum wanita membuka wajahnya, tentu memalingkan pandangan dari mereka sangat sulit dilakukan. Jika seorang pria melihat wajah wanita, tentu pandangannya akan tertuju pada wanita lain dan seterusnya. Ini membuktikan bahwa dahulu kaum perempuan menutup wajah mereka dan memandang perempuan terjadi secara tidak sengaja. Begitu juga dengan hadits dari Ibnu Mas’ud menjelaskan bahwa perempuan itu adalah aurat termasuk wajah dan kedua telapak tangan.
Adapun menurut mayoritas ulama -diantaranya Abu Hanifah dalam salah satu riwayatnya, Mazhab Hanafi, Imam Malik, Mazhab Maliki, Imam Syafi’i dalam salah satu pendapatnya, sebagian kalangan syafi’iyah, Ahmad dalam riwayatnya, serta sebagian mazhab Hambali dan Zhahiri-berpendapat, aurat perempuan yang telah baligh dihadapan lelaki bukan muhrim adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Wajah dan telapak tangan boleh dibuka selama tidak menimbulkan fitnah dan syahwat.
Adapun dalil-dalil yang menjadi pegangan ini sebagai berikut:
1. Penafsiran shahabat terhadap ayat إِلاَّ مَاظَهَرَ مِنْكُمْ (kecuali apa yang biasa tampak dari padanya). Jumhur Ulama dari kalangan shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (para tabi’in) menafsirkan firman Allah dalam surat An-Nur 31 (dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak darinya”) bahwa yang dimaksud adalah wajah dan telapak tangan atau celak dan cincin serta perhiasan-perhiasan yang serupa dengannya.
2. Perintah mengulurkan kerudung ke dada, bukan wajah. Allah berfirman:

“...Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya …” (An-Nur [24] :31)

Lafal al- khamuru (اَلْخَمُرُ ) adalah bentuk jamak dari kata khimaaru (خِمَارٌ ) yaitu tutup kepala, sedangkan lafal Al-Juyubu (الجُيُوْبُ ) adalah bentuk jamak darai kata Jaibu (جَيْبٌ) yaitu belahan dada pada baju atau lainnya. Maka wanita-wanita mukminah diperintahkan menutupkan dan mengulurkan penutup kepalanya sehingga dapat menutupi leher dan dadanya dan jangan membiarkannya terlihat sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita jahiliyah.
3. Perintah kepada laki-laki untuk menjaga pandangan
Al-Qur’an dan As-sunnah menyuruh laki-laki menahan pandangannya. Sebagaimana firman Allah dan hadits Rasul sebagai berikut :
 

“Katakanlah kepada laki-laki beriman hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah maha Mengetahui apa yang mereka perbuat (An-Nur 30)

Sabda Nabi
يَامَعْشَرَ الشَّبَابَ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبُصَرِوَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ (رواه الجماعة)
“Wahai para pemuda barang siapa diantara kamu yang telah mampu kawin, maka kawinlah, karena kawin itu dapat menurunkan pandangan dan memelihara kemaluan ….. (HR Jama’ah)

Kalau diperintahkan perempuan menutup wajah maka tidak ada manfaatnya perintah kepada laki-laki untuk menjaga pandangan. Maka wajah dan telapak tangan tidak termasuk aurat karena ada keperluan untuk membukanya seperti untuk mengenal seseorang.
4. Hadits-hadits Nabi SAW yang menguatkan tentang wajah dan telapak tangan bukanlah aurat, diantaranya:
- Hadits dari Sahl bin Sa’ad
حَدَّ ثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّ ثَنَا يَعْقُوْبُ عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (وَهُوَ فِى المَسْجِدِ) فَقَالَتْ يَارَسُوْلُ اللهِ ‍! جِئْتُ لِأَ هَبَ لَكَ نَفْسِى, (فَصَمَتَ) فَلَقَدْ رَأَيْتُهَاقَائِمَةً مَلِيًّاأَوْقَالَ: هَوِيْنًا), فَنَظَرَإِلَيْهَارَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَصَعِدَ النَّظَرَ إِلَيْهَاوَصَوَّبَهُ,ثُمَّ طَأْ طَأَرَأَسَهُ, فَلَمَّا رَأَتِ المَرْأَةُ أَنَّهُ لَمْ بَقْصُدْ فِيْهَا شَيْئًا جَلَسَتْ( رواه البخاري ومسلم النسائ وأحمد)

“Qutaibah Ya’qub mengkhabarkan terhadap kami dari Abu Hazim dari Sahal bin Sa’ad,( ia berkata) pernah seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW (saat itu beliau sedang berada di mesjid) katanya,’wahai Rasulullah saya datang untuk memberikan diriku kepadamu” (Nabi diam, sungguh aku melihat wanita tersebut berdiri cukup lama. Atau dia berkata, sambil menunduk) Rasulullah SAW memandang wanita tersebut sebagian atasnya(wajah) dan menatapnya kemudian beliau menundukkan kepalanya. Tatkala wanita tadi tahu bahwa beliau tidak menginginkan sesuatu pada dirinya, maka dia pun duduk (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Ahmad)

- Hadits dari Aisyah,
حَدَّ ثَنَايَحْيَ بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ أَخْبَرْنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ اخْبَرْنِى عُرْوَةَبْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ قَالَتْ:كُنَّ نِسَاءَ المُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوْطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوْْتِهِنَّ حِيْنَ يُفْضِيْنَ الصَّلاَةَ لاَ يُعْرَفْنَ مِنَ الغَلَسِ (رواه البخارى ومسلم )
“Yahya mengkhabarkan terhadap kami , Ia berkata Laits mengkhabarkan terhadap kami dari dari Uqa’il dari Ibnu Syihab, ia berkata Urwah bin Zubair, sesungguhnya Aisyah berkata, Kami wanita-wanita mukminat biasa menghadiri shalat fajar (subuh) bersama Nabi SAW dengan mengenakan kain yang tak berjahit. Kemudian para wanita tadi pulang kerumahnya seusai melakukan shalat mereka tidak bisa dikenali lantaran gelap. (HR Bukhari dan Muslim)

Kalimat yang artinya” tidak saling mengenal satu sama lain lantaran gelap” dalam hadits di atas diambil mafhumnya yaitu: seandainya tidak gelap, mereka akan saling mengenal dari wajah-wajah mereka yang terbuka, sehingga jelaslah siapa-siapanya.
5. Perintah membuka wajah dan telapak tangan dalam shalat dan ihram. Dalam shalat harus menutup aurat maka jika wajah dan telapak tangan termasuk aurat tentu tidak shah shalat seseorang dengan membuka keduanya.
Maka mayoritas ulama berpendapat bahwa aurat seorang perempuan di hadapan lelaki lain adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Berbeda dengan aurat perempuan dihadapan muhrimnya ada keringanan karena beberapa hal yang melandasinya.
Adapun aurat perempuan dihadapan muhrimnya adalah antara pusar dan lutut. Hal ini didasarkan pada surat An-nur [24]: 31, sebagai berikut :
                       
Artinya :
“Janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka. (QS. An-Nur [24]: 31)

Ayat di atas menjelaskan bahwa perempuan mukmin boleh melihatkan perhiasannya kepada suami, ayah, ayah suami, putera-putera mereka, saudara laki-laki, putra saudara laki-laki dan putra saudara perempuan. Dalam menafsirkan perhiasan, ulama berbeda pendapat maka berbeda pendapat pula ulama menentukan aurat perempuan dihadapan muhrim yang telah ditentukan ayat diatas.
Menurut ulama Hanafiyah berpendapat bahwa laki-laki boleh memandang anggota tubuh muhrimnya yang tampak atau yang batin. Anggota tersebut adalah kepala, wajah, rambut, telinga, leher, payudara, lengan atas, lengan bawah, betis dan kaki. Hal ini didasarkan bahwa “perhiasan” yang dimaksud ayat adalah anggota tubuh tempat perhiasan tersebut disematkan. “perhiasan batin” adalah ikat kepala, jepitan rambut, anting, beha, gelang, gelang kaki dan kalung. Selain itu menampakan perhiasan tersebut karena keadaan dan aman dari fitrah serta syahwat.
Adapun menurut ulama Malikiyah, aurat perempuan dihadapan muhrimnya adalah seluruh tubuh perempuan muhrim adalah aurat selain kepala, wajah, leher, lengan dan kaki. Adapun menurut ulama Syafi’iyah, aurat perempuan dihadapan muhrim adalah antara pusar dan lutut, menurut mereka hukum perempuan bersama dengan muhrimnya sama seperti hukum laki-laki bersama laki-laki dan perempuan bersama perempuan, karena ikatan muhrim merupakan aturan yang mengharamkan pernikahan.
Sementara menurut ulama Hambaliyah dan sebagian Syafi’iyah aurat perempuan dihadapan muhrimnya adalah yang biasa tampak saat melakukan perkerjaan rumah, seperti kepala, leher, telapak tangan, kaki, betis dan sebagainya. Hal ini dikarenakan keperluan dan aman dari syahwat.
Maka aurat perempuan dihadapan muhrimnya adalah pusar dan lutut, namun untuk menjaga hal-hal yang tidak diingini perempuan hendaknya menjaga bagian anggota tubuh lainnya tidak terlihat kecuali memang ada keperluan.
Adapun aurat seorang perempuan terhadap suaminya sama dengan aurat suami terhadap istrinya sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya. Aurat perempuan dihadapan suaminya hampir tidak ada, selama itu diharuskan untuk istimta’ dan apa yang telah dihalalkan.

D. Ciri-ciri Pakaian Menutup Aurat
Al-Qur’an dan As-Sunnah menyuruh umat Islam untuk menutup aurat untuk kemashlahatan umat Islam itu sendiri. Dengan menutup aurat, umat Islam secara tidak langsung menciptakan suasana aman dari fitnah sekaligus aman dari syahwat yang tidak sesuai dengan tuntunan agama.
Dalam menutup aurat, umat Islam harus memperhatikan pakaian yang memang menenuhi standar syari’at Islam. Pakaian yang memenuhi syari’at Islam harus memiliki dan memenuhi ciri-ciri pakaian menutup aurat.
Adapun pakaian yang menutupi ciri tersebut adalah :
1. Pakaian tersebut menutup seluruh bagian tubuh yang wajib di tutupi dari semua sisi.
Para ahli fiqh menyepakati kewajiban menutup aurat pada bagian sisi yang saling berhadapan (depan, belakang, sisi kiri dan sisi kanan). Tentu hal ini menyempurnakan menutup aurat, namun mereka berbeda pendapat tentang kewajiban menutup aurat dari bagian bawah dan atas.
Menurut ulama Malikiyah, Hambaliyah dan sebagian Syafi’iyah berpendapat, wajib menutup aurat dari semua sisi, termasuk bagian atas dan bawah, seperti seseorang shalat dengan mengenakan pakaian kerah lebar saat ruku’ dan sujud auratnya terlihat maka shalatnya tidak shah. Mereka berargumen dengan dalil sebagai berikut :
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَ كْوَعِ رَضِ قَالَ قُلْتُ يَارَسُوْلُ اللهِ ص م إِنِّى أَكُوْنُ فِى الصَّيْدِ وَأُصَلِّى وَلَيْسَ عَلَيَّ إِلاَّ قَمِيْصٌ وَاحِدٌ قَالَ فزَرِّرْهُ وَإِنْ لَمْ نَجِدْ إِلاَّ شَوْكَةً ( رواه أحمد وأبواداود والنسائ)
“Dari Salamah bin al-Akwa’ R.A Ia berkata, aku bertanya : wahai Rasulullah SAW, aku gemar berburu. Apakah aku boleh melaksanakan shalat dengan sehelai gamis ?, beliau menjawab ya kancingkan gamismu meski dengan duri”(HR. Ahmad, Abu Daud dan AN-Nasa’i)

2. Pakaian tersebut harus berbuat dari bahan yang tebal sehingga dapat menutup warna kulit dari jarak yang wajar dan dengan penglihatan normal. Hal ini didasarkan kepada hadits Nabi Muhammad SAW sebagai berikut :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَ هُمَاقَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ البَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَاالنَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَمِيْلاَتٌ مَائِلاَ تٌ رَؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنَمَةِ البُخْتِ المَائِلَةِ لاَيَدْخَلْنَ الجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رَيْحَهَا وَإِنَّ رَيْحَهَا لِيُوْجَدَ مِنْ مَيْسَرَةٍ كَذَاكَذَا (رواه مسلم)
Artinya :
Dari Ab Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, Dua golongan dari penghuni neraka yang belum pernah aku lihat yaitu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, yang memalingkan (orang lain kepada maksiat) dan berlenggok-lenggok kepalanya atau rambutnya seperti punuk onta yang miring. Mereka tidak akan masuk sorga dan tidak akan dapat baunya, padahal bau sorga itu tercium dari jarak yang sangat jauh. (HR.Muslim).

Pakaian tebal disini untuk menghindari aurat tersebut terlihat. Dalam artian pakaian yang tembus pandang dan tipis sehingga memperlihatkan aurat perempuan atau laki-laki tidak dibolehkan oleh syari’at.
3. Pakaian tersebut harus longgar, tidak memperlihatkan lekukan tubuh.
Pakaian tersebut tidak ketat sehingga tidak memperlihatkan bentuk tubuh. Namun para ulama fiqh berselisih pendapat tentang pakaian sempit tapi tidak terlihat warna kulit untuk di bawa shalat.
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah memakruhkan shalat dengan pakaian yang sempit. Menurut ulama Malikiyah, shalatnya dianjurkan untuk diulang pada waktu itu juga. Hal tersebut didasarkan pada riwayat Aisyah. Dia meriwayatkan , perempuan harus mengenakan tiga pakaian yang digunakan untuk shalat, baju kurung, jilbab dan kerudung. Aisyah pernah melepaskannya dan menggunakannya sebagai jilbab. (HR. Ibnu Abi Syaibah).
Sementara dalil yang menyatakan harus memakai pakaian longgar dan tidak ketat adalah sebagai berikut :
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ كَسَانِى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُبْطِيَّةً كَثِيْفَةً مِمَّاأَحْدَاهَالَهُ دِحْيَةُ الكَلْبِيُّ فَكَسَوْتُهَا امْرَأَتِي فَقَالَ مَالَكَ لَمْ تَلْبَسْ القُبْطِيَّةُ قُلْتُ كَسَوْتُهَاامْرَأَتِيْ فَقَالَ مُرْهَا فَلْتَجْعَلْ تَحْتَهَاغِلاَ لَةً فَإِنِّى أَخَافُ أَنْ تَصِفَ حَجْمَ عِظَامِهَا (رواه احمد)

Artinya :
Dari Usamah bin Zaid, ia berkata: Rasulullah SAW memberikan kain Qibthi tebal yang dihadiahkan oleh Dihyah al-Kalbi kepada beliau, lalu saya berikan kepada isteriku untuk pakaiannya. Rasulullah bertanya (kepadaku): Mengapa engkau tidak memakai kain Qibthi itu ? saya menjawab: saya berikan kepada istriku untuk pakaiannya. Beliaupun bersabda: suruhlah dia (istrimu) memakai kain di bagian dalamnya karena aku khawatir (kain qibthiku) memperlihatkan lekuk tubuhnya. (HR. Ahmad).


Dalam hadits diatas, Rasulullah SAW memerintahkan agar wanita yang memakai baju Qibthiyah, juga memakai pakaian dalam agar tidak nampak lekuk tubuhnya, perintah pada asalnya wajib, sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih, oleh karena itu Asy Syaukani berkata: hadist ini menunjukkan wajibnya seorang wanita memakai pakaian yang menutup seluruh badanya dengan pakaian yang tidak menggambarkan bentuk tubuhnya. Ini menjadi syarat dari pakaian yang merupakan penutup aurat. Rasulullah SAW memerintahkan agar istri Usamah mengenakan pakaian dalam dibalik baju Qibthiyah itu , karena biasanya tipis sehingga bisa menyembunyikan warna kulit dari pandangan orang yang paling tidak akan mengambarkan lekuk tubuhnya .
Menurut Syaikh Nashiruddin Al-Bani, pakaian Qibthiyah merupakan pakaian tebal namun masih bisa menggambarkan bentuk tubuh, pakaian ini karakter lembut dan lentur ditubuh, sehingga menggambarkan lekuk tubuh . Maka yang dimaksud hadits diatas bukan pakaian itu tipis tapi karena ketat.

4. Pakaian tersebut tidak menyerupai pakaian laki-laki bagi perempuan dan sebaliknya.
Hal ini didasarkan beberapa hadits shahih yang melaknat perempuan atau laki-laki yang memakai pakaian yang menyerupai lawan jenisnya. Hadits-hadits tersebut antara lain:
1. Dari Ibnu Abbas RA,
عَن ِابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَاقَالَ لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِجَالِ بِالنِّسَآءِ وَالمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النَّسِآءِ بِالرِّجَالِ (رواه البخاري والترميذ,وأبواداود وابن ماجه واحمد و الدارمى)

“Dari Ibnu Abbas ia berkata Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki (HR. Bukhari, Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi)

2. Dari Abu Hurairah RA
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لأُبْسَةَ المَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لُبْسَةَ الرَّجُلِ (رواه أحمد وأبودلود وابن حبان والنسائ والحاكم والطبرانى)
“Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah SAW melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Hibbah, Nasa’I, Hakim dan Thabarani)

5. Pakaian tersebut bukan untuk sebuah popularitas.
Pakaian yang niatnya untuk menutup aurat, bukan untuk mengikuti model terkini sehingga menarik orang untuk melihatnya. Pakaian untuk sebuah popularitas sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Sebagaimana termuat dalam hadits Nabi sebagai berikut :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَال رَسوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِى الدُّنْيَاالبَسَهُ اللهُ ثَوْبَ مَذَ لَّةِ يَوْمَ القِيَامَةِ ثُمَّ أَلْهَبَ فِيْهِ نَارًا(رواه ابن ماجه وأبواداود وأحمد)
“Dari Abdullah Ibnu Umar, ia berkata:”Rasulullah SAW, bersabda:”barang siapa di dunia memakai pakaian mencolok, maka kelak Allah menggenakan kepadanya pakaian kehinaan pada hari kiamat, kemudian ia akan dimasukkan ke dalam api neraka (HR Ibnu Majah, abu Daud dan Ahmad)

6. Pakaian tersebut tidak menyerupai pakaian orang kafir.
Pakaian yang dipakai tiadak menyerupai pakaian orang kafir. Orang kafir yang dimaksud disini termasuk Yahudi, Kristen dan penyembah berhala. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِوبْنِ الْعَاصِ قَالَ رَأَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيَّ ثَوْ بَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ فَقَالَ إِنَّ هَذِهِ مِنْ ثِيَابِ الْكُفَّارِ فَلاَ تَلْبَسْهَا ( رواه مسلم و النسائ و الحاكم )
“Dari Abdullah bin ‘Umar , ia berkata,” Rasulullah SAW melihat saya memakai dua kain yang dicelup warna kuning. Beliau lalu bersabda:”sesungguhnya kain dengan warna ini termasuk pakaian orang-orang kafir. Oleh karena itu engkau jangan memakainya”. (HR Muslim, Ahmad., An Nasa’I, Baihaqi Thayalisi dan Hakim)

Dari hadits diatas dapat dipahami bahwa orang Islam dilarang memakai pakaian yang warnanya menyerupai warna yang menjadi simbol bagi orang kafir. Pada zaman tersebut warna kuning merupakan lambang golongan kafir dan kaum Quraisy musyrik . Oleh sebab itu, Rasulullah SAW melarang para shahabatnya memakai kain yang berwarna kuning mencolok. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi berikut ini,
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَمِنْهُمْ (رواه ابواداود)

“Dari Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda : ‘siapa yang meniru keadaan suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”.( HR. Abu Daud)

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa umat Islam tidak boleh memakai pakaian yang merupakan identitas orang kafir, apalagi itu tidak menutup aurat, karena siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia masuk kaum tersebut.
7. Pakaian tersebut bukan untuk berhias.
Surat An-Nur ayat 31 melarang seorang perempuan menampakkan perhiasanya kepada orang lain, hal ini didukung oleh firman Allah:
      •  
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu….”(Al-Ahzab ayat 33)

Dalam ayat diatas juga perempuan dilarang untuk berhias dan diperkuat juga oleh sejumlah hadits-hadits Nabi yang terdahulu. Maka pakaian yang dituntut disini adalah pakaian yang menutup aurat dan tidak menarik orang untuk melihatnya.
8. Pakaian tersebut tidak bermaksud untuk menarik perhatian laki-laki supaya mereka mengetahui apa yang tersembunyi baik berupa bau-bauan maupun bunyi-bunyian.
Perempuan-perempuan jahiliyah dahulu kalau berjalan di hadapan laki-laki, mereka pukul-pukulkan kakinya supaya terdengar suara kakinya. Untuk itu al-Qur’an melarangnya karena hal tersebut dapat membangkitkan khayal laki-laki. Sebagaimana Allah berfirman:

”dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (An-Nur 31)

Selain itu, Perempuan juga dilarang memakai wangi-wangian yang cukup dapat membangkit syahwat dan perhatian laki-laki. Hal ini juga didasarkan pada hadits Nabi sebagai berikut:
عَنِ الْأَشْعَرِيَّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوْا مِنْ رِيْحِهَا فَهِيَ زَانِيَّةٌ (رواه النسائ و الترميذى وابوداود و أحمد و الدرمى)

“Dari (Abu Musa) Al ‘Asy’ary ia berkata: rasulullah SAW bersabda: siapapun perempuan yang memakai wewangian, lalu melaewati sekelompok laki-laki agar mereka mencium bau wanginya, maka dia laksana perempuan yang berzina”.(HR.Nasa’I, Tarmizi, Abu Daud, Ahmad dan Darimi)

Demikianlah ciri-ciri pakaian menutup aurat yang harus dipenuhi oleh seorang muslim, agar kemaslahatan hukum bisa tercapai.
E. Pakaian Adat Minang
Orang minang kabau mempunyai adat tersendiri dalam kesehariannya. Kaum laki-laki maupun perempuan Minang Kabau mempunyai pakaian sehari dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya.
Dalam Encyclopaedie Van Nederlandsch dijelaskan pakaian harian laki-laki dan perempuan menurut adat istiadat Minang Kabau. Pakaian harian Minang Kabau meliputi selembar destar, sehelai baju ketat, sarung ikat pinggang celana dan sehelai sapu tangan. Adapun pakaian wanita terdiri dari kain, baju dan selendang.
Pakaian harian tersebut dijelaskan secara rinci oleh Drs. Anwar Ibrahim dan H. Djafri Dt. Lubuk Sati dkk dalam bukunya”Pakaian adat Tradisional Sumatera Barat sebagai berikut”.
1. Pakaian Harian Pria
Dalam daerah Minang Kabau tidak banyak macam pakaian harian orang muda yang dipakai atau yang diadatkan. Satu-satunya jenis pakaian orang muda Minang Kabau sebagai berikut:
a. Celana Batik
Celana ini dibuat dari kain batik dengan ukuran yang sederhana tanpa pisak

b. Baju
Baju orang muda atau baju harian seorang penghuylu di minang kabau adalah baju putih gunting cina yang mempunyai sulam
c. Peci
Peci yang dipakai adalah peci beludru warna hitam. Disamping itu pakian orang muda minang kabau dilengkapi dengan sarung bugis dan tongkat. Sarung bugis disandangkan pada bahu kiri dengan lurus ke bawah melingkari tangan kiri dan berfungsi untuk dipakai shalat. Adapun tongkat digunakan terutama bagi penghulu.
2. Pakaian Harian Wanita
Pada dasarnya pakaian harian wanita Minang Kabau hampir bersamaan, walaupun ada sedikit variasi di beberapa tempat. Pakaian harian tersebut pada pokoknya terdiri dari : Baju kurung, kodek (Lambak dan Tengkuluk) dan tengkuluk. Dalam bahasan ini, dibedakan pakaian harian orang tua dengan orang muda walau hamper bersamaan, sebagai berikut :
a. Pakaian harian orang tua
Pakaian para wanita yang tergolong tua atau berumur di Minang Kabau terdiri baju kurung, kodek atau sarung selendang . Baju kurung ini panjangnya sampai lengan dan dalamnya sampai bawah lutut. Sementara pakaian bawahnya disebut sarung yang panjangnya menutupi seluruh jari-jari kaki. Untuk bagian atas dinamakan selendang. Selendang ini hanya menutupi rambut dan telinga, dengan cara dililitkan. Pakaian inilah yang dipakai oleh wanita berumur di minang kabau yang meliputi baju kurung, selendang dan sarung.
b. Pakaian harian orang muda.
Pakaian orang muda Minang Kabau terdiri dari :
- Baju Kurung
Baju kurung yang dipakai sebagai baju harian ditata lebih dalam dan pada umumnya hingga lutut dan lengannya sampai pergelangan tangan . Baju kurung ini hampir sama polanya disemua daerah yang ada diminang kabau, hanya perbedaan bahan dasar dan aksorisnya.
- Tengkuluk
Tengkuluk merupakan pakaian penutup kepala di Minang Kabau, tengkuluk ini di daerah kabupaten tanah datar bentuknya seperti tanah liat, ditutupkan atau dengan melilitkan kepala dengan ujungnya lepas ke belakang .
- Kodek atau sarung
Kain ini merupakan yang pertama dipasang oleh pemakainya yang dalamnya sampai kemata kaki.
Selain itu dalam adat Minang Kabau mengatur tingkah laku seorang perempuan dalam berpakaian yang disebut sumbang dalam pakaian. Sumbang dalam pakaian adalah pakaian yang tidak pantas dipakai. Sumbang pakaian ini diantaranya berpakaian seperti laki-laki, pakaian yang mengumbar nafsu dan tidak menutup aurat.
.